“Sudah hamil belum?”
Pertanyaan ini yang sering kami berdua temui di tengah perjalanan 10 bulan pernikahan. Sebenarnya pertanyaan udah hamil atau belum nggak jadi masalah buat aku dan suami. Apalagi yang bertanya emang jarang ketemu. Kita yakin, dibalik pertanyaan itu ada kepedulian dan juga doa. Lagian juga kalo dipikir wajar aja se, orang abis nikah ditanya udah hamil atau belum. Jangan sampe aja, nanyanya udah cerai atau belum. Minta digepruk kalo itu sih...
Mengenai jawabannya aku menuruti nasehat ibukku semenjak belum nikah dulu. Dulu, kata ibuk, kalo ditanya kapan nikah siapapun yang bertanya aku disarankan untuk menjawab “pangestunipun” alias minta doanya. Tujuannya biar banyak yang mendoakan. Dan memang bener banget nasehat ini. Siapa tau Tuhan mendengar seluruh doa itu. Pun ketika pertanyaan beralih menjadi sudah hamil atau belum. Aku selalu jawab doakan ya. Tapi, karena aku orangnya cenderung ngawur, seringkali pun jawaban juga ngasal, meski tetep ada permintaan doanya. Misal:
>> iya belum, doain ya. Kamu yang berdoa, aku yang usaha ya. Jangan kebalik ya..
>> Belum, masih dadi upil sama kopok . Doakan segera jadi idung dan kuping ya..
>> Belum, padahal buatnya sudah berdua lo, nggak sendirian. Doain ya...
>> Belum nih, doakan dong. Padahal udah bener lo posisinya. Aku nggak pernah kok di belakang dhio.. (Sumpah iki ajur, dan hanya orang tertentu yang kujawab gini).:
>>Belum, minta doanya. padahal kita berdua rajin lo buatnya. Nggak malam jumat aja, sehari malah 3 kali, saking rajinnya (Yang bertanya ini sudah sepuh dan tipe kolot. Akau jawab ini, karena sebel mendengar komentarnya yang sering menyakitkan. Bisa dipastikan, si mbah itu cuma bengong-mengernyit jijik-dan berlalu. Hahaha.. Kena kau!).
Yup, dari sekian jawaban itu, seringkali malah membuat yang bertanya malah ngakak. Pahala kan ya, membuat orang ketawa...
Bagi aku yang menentukan pertanyaan itu menyebalkan atau tidak justru komentar dari pertanyaan utama itu. Ada dua tipe komentar dan mungkin juga bisa dikategorikan dua tipe kepribadian. Yang satu menyenangkan, kadang malah memberi ilmu, doa dan penghiburan. Yang lain malah membuat down, sebel, dan ngresulo pada Tuhan.
Tipe I
Orang yang memberi support entah itu dalam bentuk doa, tips, saran, larangan, ataupun kalimat yang menenangkan.
Ini sih Alhamdulilah, dan kita berdua selalu berpikir positif kalau mereka benar-benar mendoakan. Dan mengenai tips-tips ini, sangat kita syukuri karena terus terang kita awam sekali masalah ini. Wong ngitung masa subur aja baru tau setelah 6 bulan nikah, hehe. Jadi segala tips itu kita sangat berterima kasih. Memang, cuma segelintir yang bisa kita lakuin dari sekian banyak tips. Gimana lagi, kalau udah praktek kadang lupa sama teori (ups!). Begitupun kalau ada yang ngasih tips jangan banyak makan sambal. Ini yang sulit kulakuin, gimana enggak sarapan dengan waktu mepet gitu yang paling simpel ya buat tempe penyet ^_^. Atau ada yang menyarankan berdoa dulu. Kalau ini sih, jelas sudah kita lakuin. Bahkan sampai doa sebelum makan ketuker sama doa sebelum “itu”, saking hapalnya..hehe
Sedangkan untuk kalimat yang menenangkan, seperti “Westalah santai, buat maen aja. Seneng-senengin mumpung masih belum ada, kalau sudah kayak aku gini malah repot nggak bisa kemana-mana”. Di tengah penantian, harapan, doa, seringkali kata-kata mereka menyejukkan hati kami dan membuat kami rileks. Yah, ada orang-orang yang memberi support dengan cara membesarkan hati kami seperti ini.
Bahkan pernah ada temen baik kami berdua yang pernah “mengomeliku” di telpon. Dia bilang: “Fan, ngak usah dipikir kata orang. Orang-orang itu cuma bisa ngomong. Kamu udah punya anak pun nggak akan berhenti pertanyaan itu, kapan hamil lagi dst. Santai aja, nikmati masa berdua. Terserah orang-orang mau bilang apa”. Padahal waktu itu, aku cuma iseng mengadu ke dia kalau aku belum hamil, dan nggak cerita tentang “sucks comment” itu. Buat mas dafi, suwun omelane..we lope u ^_^.
Atau ada komentar yang ancur-ancur kayak “ aslie aku yakin kamu itu waria yang belum transgender Bek, makanya belum hamil”. Itu sih, malah buat kita ngakak. Ada juga yang menjaga perasaan dengan nggak pernah menyinggung sama sekali, malah aku yang suka curhat tanpa ditanya dan dia cuma jawab: “iya, ta doain pasti”.
Tipe II
Orang yang dengan santainya bilang “Ooo..gak enthos!”, “Yakopo seh, kok gak dadi-dadi?”,“Titis opo gak seh?” Atau “Kok belum sih? Si A yang barengan nikah aja udah lahir anaknya, si B yang baru nikah udah hamil, si C yang belum nikah aja sudah ngelahirin (lek iki ajaib). Ayo dong, mosok dibalap terus?”
Percaya atau tidak, yang ngomong gak enthos ini sodaraku yang sudah berusia lanjut. Padahal waktu itu aku jawab dengan sopan “ belum, minta doanya”. Waktu itu, kalo aja nggak inget yang di hadapanku ini sudah bercucu banyak, rasanya pengen ngebales dengan kata-kata yang pedesnya ngalah-ngalahin lombok sekilo. Tapi ya sudahlah, lombok lagi mahal juga (iki opo seh). Dan kadang yang ngomong “Titis opo gak seh?” ini juga belum nikah (masih mending kalo yang ngomong gini anaknya udah lima). Kadang, kalau ada setan lewat aku membatin “oh, liat aja, kalo nikah nanti berapa lama bakal dikasih”. Tapi kalau lagi ada malaikat lewat “ya, mugo-moga aja nati kamu nggak nunggu lama kayak gini”. Tapi jujur, kebanyakan setannya yang lewat sih..^_^. Untuk ngadepin sucks comment itu biasanya aku cuma ketawa kecut atau ngomong, “ya makanya doain” atau kalau lagi sensi balas komentar yang lebih sengit, hehe (aku kan bukan tokoh utama di sinetron Indonesia yang seringnya cuma diem aja sambil mewek kalau disakiti, hiaha)
Yah itulah, kadang memang yang membuat kita berdua sebel, nggak sabar, sensi bukan masa menunggu itu tapi kalimat dari beberapa orang yang seringkali menyakitkan. Kecuali jawabanku: “sudah hamil, tapi kugugurin males punya anak”. Silahkan kalau mau dibilang gak enthos/ yakopo seh kok nggak dadi? Tapi lha ini kita juga berusaha, berdoa, dan meminta doa baik-baik. Semua keputusan kan di tangan Allah SWT. Tapi dari situlah kami bisa tau kualitas diri orang-orang di sekitar kami. Ada yang bisa menjaga perasaan, ada yang tidak. Kadang suka heran, ada temen suami yang biasanya suka nyela, dan guyonnya ancur. Tapi nggak pernah lo, dia menyinggung perasaan kami dengan komentar menyebalkan. Tapi nggak jarang kami temui orang yang tampaknya dekat dengan Tuhan, taat beribadah dan bahkan sudah sepuh (yang tentunya kebijakannya harusnya lebih dari anak muda), malah komentar yang buat kita ngelus dada. Tagline iklan Sampoerna bener tampaknya. Tua itu pasti, Dewasa itu pilihan.
Note ini kubuat beberapa jam setelah ngobrol dengan salah satu teman baik kami yang juga mengalami hal serupa. Dia juga bercerita kalau yang membuat istrinya nggak betah adalah omongan dan komentar dari orang sekitarnya yang nggak berperasaan. Mungkin secara nggak sadar komentar kita melukai orang lain. Mungkin dulu secara nggak sadar aku juga sering berkomentar yang nggak semestinya Karena hal ini aku jadi tau, lebih baik bersikap lebih dewasa dan berempati. Bertanya tidak apa-apa, tapi akan lebih baik jika dibalik pertanyaan ada doa dan penghiburan jika memang yang ditanya memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan harapan dia. Apa salahnya dan apa susahnya sih bilang: “ta’doain moga cepet/ sabar aja pasti nanti ada waktunya” daripada bilang “nggak enthos/iso nggak seh?”.
Belajar tidak menyakiti hati orang adalah suatu bentuk kedewasaan. Dan kualitas diri kita terlihat kok dari kesanggupan kita berempati. Try to be a better person, why not?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar