23.3.11

Sebuah penyangkalan dan (akhirnya) penerimaan


“Manusia boleh berencana, tapi Tuhan yang menentukan”

Kalimat ini yang akhir-akhir ini bener-bener menohokku. Jadi ceritanya tanggal 24 Februari kemarin periksa ke dokter mata ahli retina, memastikan kondisi retinaku untuk persiapan melahirkan. Hasil diagnosanya retina kiriku tipis atau biasa disebut degenerasi. Waktu itu sih nyantai, dan nggak mikir macam-macam. Dokternya memang bilang bahwa retina tipis itu nggak boleh mengejan, mengangkat barang berat karena dikhawatirkan terjadi runtuhnya/lepasnya retina. Tapi waktu itu karena dokternya juga bilang persalinan normal/operasi itu tergantung keputusan dokter kandungan, jadi aku tetep santai. Beberapa hari kemudian periksa ke dokter kandungan. Dokternya si waktu itu memang keliatan ragu untuk persalinan normal, tapi karena aku ngotot dengan bilang “kalau pede normal kan nggak papa ya dok?”, dia cuma bilang “kita liat aja, saya masih berani kalau BB bayi nggak gede”. Ya, waktu itu masih dalam tahap penyangkalan. Menyangkal bahwa retinaku ada penipisan. Jadi tetep ngotot nggak mau membayangkan operasi.
Tapi ketika periksa tanggal 18 maret kemarin, dokter langsung tanya “gimana, langsung operasi aja?”. Aku kaget tapi tetep ngotot mencoba normal. Dokter cuma bilang “ ya saya terserah yang menjalani”. Tapi pas dhio tanya “kalau menurut dokter gimana?”. Dengan mantap dokter menjawab “melihat diagnosa dokter mata ada degenarasi, kalau saya menyarankan operasi”. Terus terang waktu itu aku langsung down. Blank nggak bisa ngomong apa-apa. Jadi cuma manggut-manggut lalu keluar dari ruang praktek. Pas dhio nanya: “gimana bi?” aku dengan perasaan nggak karuan menjawab “biaran Bi, nekat normal aja. Babah wis, nggak ngurus”. Akhirnya dhio bilang “kita pulang dulu, nanti di rumah diomongin lagi”. Sepanjang jalan rasanya nggak konsen, nggak karuan perasaanku. Nyampe rumah muntah-muntah, perasaan nggak menentu. Setelah solat, di kamar dhio ngajak ngomong. Nggak bisa menjawab tapi tiba-tiba aja udah nangis. Nggak tau ya, rasanya kecewa, sedih. Selama 8 bulan lebih ini sudah punya angan-angan melahirkan normal, sudah mempersiapkan diri untuk melahirkan normal. Jalan kaki, senam hamil, belajar dari buku, internet, belajar hypnobirthing dsb. Takut memang iya, sampai bolak-balik kebawa mimpi. Tapi gimanapun pengen menjalani proses normal itu. Bukan karena pengen IMD aja, tapi juga karena keegoisanku sebagai calon ibu yaitu pengen merasakan gimana kontraksi, bukaan, mengejan sampai akhirnya si bayi keluar. Dan yang buat down juga, dokter kandunganku ini (info dari beberapa teman yang jadi pasiennya juga) dikenal telaten untuk urusan persalinan normal, nggak maen operasi aja. Selain itu selama pemeriksaan bulan-bulan kemarin ketika belum tes retina, si dokter selalu bilang dan menyemangati “tenang, iso normal iki”  ketika aku kuatir di usia kandungan 5 bulan si bayi masih sungsang. Dokter ini selalu ngasih kepedean kalau bisa melahirkan normal. Pun ketika tau aku minus 3,5 (tapi belum periksa mata). Jadi ketika dia dengan yakinnya bilang “kalau nurut saya operasi” langsung down karena yakin, dokter ini ngasih pendapat ini memang jalan yang paling aman, bukan karena cari keuntungan dsb.
Pas aku jawab pertanyaan dhio: kalau ngotot normal gimana? Aku pengen normal soalnya”. Dhio jawab: “Sekarang yang dipikirin jangan anaknya aja. Tapi juga kamu. Kita kan pengen sehat, bisa gedein anak kita sama-sama. Kalo ada apa-apa sama kamu anaknya juga kasian. Jangan hanya karena pengen normal jadinya malah ada apa-apa. Bisa kecewa di belakang. Yang dipikirin jangan hanya anaknya selamat, tapi ibunya juga selamat”. Gosh, suamiku udah berubah jadi Mario Teguh :D. Iya sih, selama ini aku berdoanya: pengen persalinan lancar normal, tapi di atas segalanya aku meminta yang penting anakku sehat sempurna, aku selamat, suami juga sehat. Tapi aku baru sadar ternyata aku nggak sepenuhnya pasrah ke Alloh SWT. Buktinya masih belum ikhlas ketika tau harus SC. Dhio juga bilang harus bersyukur, tau dari awal, jadi bisa dicegah. Gimana jadinya kalau udah terlanjur retina sobek ketika aku bilang “tau gini nggak periksa mata”. Iya sih, bersyukur sudah diberi anugerah punya anak kok ya masih nggerundel ngotot apa yang dipengenin. Tapi hati ini tetep masih belum terima. Akhirnya, besoknya masih tetep ngotot senam hamil di RSIA, meskipun pas bagian mengejan agak setengah hati dan membatin “ aku nggak bisa melewati proses ini”. Tetep ngotot sampai nanya-nanya ke suster di Hermina, ada nggak sih kejadian pas melahirkan normal terjadi pelepasan retina. Susternya bilang belum ada, karena di sini kalau sudah ada indikasi dan diagnosa seperti itu, dokternya juga nggak berani untuk tetep persalinan normal. Pas aku nanya, mungkin nggak sus, tetep mencoba normal? Susternya bilang “mungkin, tapi mengejannya harus hati-hati. Tapi apa iya ibu mau coba-coba?”. Dierr..menohok juga L.
 Meski udah tanya sana sini, sampai kemarin nggak bisa tidur nyenyak karena masih sulit nerima. Tapi setelah doa, minta petunjuk dan “ngobrol” sama Alloh SWT, juga ngeluarin semua uneg-uneg, keluhan, ganjalan ke dhio dan akhirnya ke dokter kandungan lagi untuk memastikan dan mengajukan pertanyaan, Alhamdulilah sudah mulai bisa ikhlas dan nerima kalau memang ini yang terbaik buat aku dan si baby. Sangat bersyukur, punya suami yang bisa menenangkan aku di kala kalut gini. Nggak percuma dia ngambil jurusan peternakan (terus hubungane opo?:D)). Mencoba berpikiran postif, dan percaya bahwa Tuhan pasti memberi jalan ini memang yang terbaik. Seperti kata seorang sahabat “berharap yang terbaik, tapi siap untuk yang terburuk”. Siapa tau aku ngotot normal ternyata ada apa-apa. Atau ngotot normal ternyata entah karena apa tetep harus Caesar. Ya sudahlah, menerima dengan ikhlas. Sekali lagi yang penting anaknya sehat selamat, ibunya selamat suamiku juga sehat. Insya Allah akhir bulan ini sudah bisa bertemu dengan anakku. Mohon doanya ya, biar persalinan lancar, anakku sehat..^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar