2.2.12

Bagai buah similikiti

Sebelum Kanzie lahir, aku nggak pernah mengira menjadi Ibu yang bekerja di luar rumah itu rasanya kayak makan buah similikiti. Serba salah, serba bimbang, serba labil kayak anak muda jaman sekarang (ya, ternyata 28 tahun itu tergolong tua). Padahal  sampai saat ini aku bekerja atas pilihan sendiri, tanpa paksaan. Tapi nggak lantas membuat ini jadi enteng surenteng. Kesulitan pertama klise sih, yaitu ketika harus meninggalkan Kanzie. Untungnya, keadaan kami masih enak. Masih ada orangtuaku yang bisa kutitipin untuk mengawasi Kanzie. Dan ya, memang “hanya” mengawasi, karena mereka sudah cukup merawat dan membesarkan aku dan mas Eyi, nggak perlu dibebani merawat Kanzie di usia yang sudah sepuh. Usia yang seharusnya hanya bermain dengan cucunya, bukan mengasuhnya. Menurut kami berdua, bukan kewajiban dan tanggung jawab kakek dan nenek untuk merawat cucunya, itu tanggung jawab kami sebagai orang tuanya. Titik gak pake koma.
kanzie sama mbah Nem

Jadi, meskipun “nitip” Kanzie, kami berusaha biar nggak merepotkan orang tua kami (meski sedikit banyak ya tetap merepotkan mereka juga untuk mengawasi Kanzie. Maaf ya Bapak Ibuk, setua ini masih ngriwuki..). Untungnya ada Mbah Nem. Mbah Nem ini membantu merawat Kanzie mulai dia berusia 2,5 bulan. Beliau sudah sepuh, tapi masih kuat menggendong selama berjam-jam dan yang pasti sayang sama Kanzie. Dari caranya merawat, ngajak Kanzie ngomong, main dan nyuapin sampai nidurin Kanzie, aku tahu bahwa memang sayangnya tulus ke Kanzie. Nggak heran, kalau Kanzie juga sayang sama Mbah nem sampai Ibuknya cemburu buta. Syukurnya rumah kami dan rumah orangtuaku hanya berjarak 2km. Rutinitasnya, tiap pagi jam 7 kurang kami bertiga berangkat ke rumah Otet & Kakungnya Kanzie. Kanzie sudah mandi (dan Ibuknya insyaAlloh juga sudah), nggak lupa membawa bekal Kanzie berupa: ASIP, makanan untuk Kanzie sarapan & makan siang, buah untuk cemilan. Begitu nyampe, nyusuin Kanzie sampai Mbah Nem datang. Berangkat, jam 12 aku pulang untuk nyusui, maen dan kadang kalo nggak males (meski lebih banyak malesnya), ndulang Kanzie. Jam 4 kami berdua pulang njemput Kanzie. Alhamdulilah, meski tiap hari rutenya riwa-riwi kayak umbel encer seperti itu, tiap hari Kanzie naek motor dan kalau hujan kadang nggak keburu untuk ganti ambil mobil atau naek becak, cukup krukupan jaket Bapaknya, Kanzie baik-baik saja dan sehat. Terus seperti itu ya Nak....
Nah, kalo meninggalkan Kanzie baru kusadari ternyata berat, ternyata ada yang lebih berat yaitu ketika kami harus berkompromi. Berkompromi dengan pengasuh Kanzie. Ketika aku dan suami punya keinginan bahwa kami ingin mengasuh dan mendidik Kanzie pakai cara A, ternyata karena kami juga nggak setiap waktu bersamanya pada akhirnya kami harus mengalah dan berkompromi ternyata cara A nggak bisa kami terapkan. Comtohnya yang paling simpel, kami pengennya Kanzie tidur tanpa harus digendong. Bolehlah dipuk-puk di kasur, tapi nggak ditimang-timang. Kenyataannya, Mbah Nem membiasakan menidurkan Kanzie dengan cara digendong. Atau aku pengen Kanzie makan anteng duduk di kursi. Prakteknya? Yang mengasuh Kanzie adalah Mbah Nem yang notabene terbiasa mengasuh anak menyuapinya dengan digendong pake selendang. Lantas, apa aku harus saklek, kaku menerapkan apa keinginan kami? Meskipun aku tau nantinya bakal susah kalau Kanzie udah jalan karena maunya makan sama main atau jalan-jalan, tapi aku pikir, hey..aku ini udah ninggal Kanzie, ya cari ajalah cara senyaman mungkin untuk Kanzie dan Mbah Nem. Kenapa aku mikirin Mbah Nem? Ya karena gimanapun, kepada beliaulah aku menitipkan anakku. Gimanapun beliau yang merawat, yang sayang sama Kanzie dan membuat kami tenang bekerja karena kami yakin Kanzie ada di tangan yang tepat. Mungkin memang susah bagi Mbah Nem untuk menidurkan Kanzie tanpa digendong, karena kalau sama aku Kanzie tinggal miring, lhap nenen, pules. Sedangkan sama Mbah Nem, mosok yo minta nenen? Mungkin juga Mbah Nem merasa lebih mudah menyuapi Kanzie sambil digendong, liat halaman belakang. Toh niat beliau baik, biar Kanzie maemnya banyak. Dan memang, kalau soal dulang mendulang, aku masih kalah dibanding Mbah Nem, kalah sabaaarrr . Itu contoh yang paling simpel. Dan aku yakin, semakin Kanzie besar, akan semakin banyak kompromi-kompromi yang harus kami lakukan, bahwa kami nggak bisa menerapkan apa yang kami mau karena memang kami berdua nggak ada 24 jam untuk dia.
Meskipun begitu, meski 7 jam Senin-Jumat meninggalkan dia, aku ingin seminim mungkin melewatkan mengurus Kanzie. Pagi hari aku atau suami masak buat bekal Kanzie, sore pulang kerja pun masih masak untuk Kanzie. Menyusui kapan dan dimanapun dia minta. Belajar belajar belajar dan belajar telaten kalau menyuapi Kanzie meski dia lagi nggak mood makan. Selalu berusaha untuk pulang istirahat, meski hujan atau bahkan pernah pulang hanya 15 menit untuk nyusuin Kanzie. Kalau dihitung, sampai Kanzie usia 10 bulan, hanya 3 kali aku nggak bisa pulang untuk nyusuin dia. Beberapa teman kantor ada yang bertanya, apa nggak kangen makan siang bareng temen-temen, kenapa harus pulang toh ada yang mengasuh Kanzie bla..bla..bla. Terus terang mungkin iya, kangen makan di luar bareng temen-temen. Tapi kalo inget sambutan Kanzie waktu aku pulang ke rumah rasanya enggan untuk melewatkannya. Semua itu bukan karena aku Ibu yang baik hatinya atau apa. Tapi, aku ingin Kanzie tahu meski nggak setiap saat bersama dia tapi Ibuknya yang seriiiing marah-marah ini tetep berusaha selalu ada untuk Kanzie. Makanya, aku kadang pengen ketawa kalao ada yang berpendapat enak ya ibu bekerja di luar rumah itu ada cutinya. Err, kalopun cuti, atau ijin nggak masuk karena nggak enak badan, tetep aja kan di rumah ngurus Kanzie. Mosok yo cuti dari Kanzie. Hil yang mustahal kalau Alm. Asmuni bilang .
Sebelum Kanzie lahir, aku nggak berpikir untuk nggak bekerja diluar rumah sampai detik Kanzie lahir, melihat wajahnya, rasa nyaman ketika menyusui dia, liat dia nangis nggak berdaya, liat kruget-krugetnya, rasanya nggak rela ninggalin dia hanya untuk kerja. Selama masa cuti itu aku bolak-balik bilang ke suami aku mau berhenti kerja. Suami sih menyerahkan keputusan di tanganku. Tapi ternyata hati ini belum berani. Lantas mencoba menelaah alasan kenapa aku (masih) ingin kembali kerja. Sebagai individu, terus terang ada keinginan egois untuk punya uang sendiri. Bebas menggunakannya untuk apapun. Contoh kecilnya aku masih ingin menyenangkan orang tuaku dengan uangku sendiri. Belum mampu untuk hal yang besar sih, hanya membelikan hadiah kecil misalnya. Atau membelikan mainan buat Kanzie, atau kalap beli buku untuk diriku sendiri. Atau banyak alasan-alasan lain yang ternyata semakin dipikir semakin ruwet, semakin bikin jiper dan banyak faktor egoisnya. Tapi, alasan yang paling penting lain adalah aku belum berani. Yup, mental cemen aku ini. Inginnya sih kerja di rumah, punya usaha di rumah. Dan yang paling penting ingin melewatkan full day bersama Kanzie. Tapi sekali lagi banyaaaaak ketakutan-ketakutan yang sepertinya sebagian hanya bisa dijawab dengan “wallahuallam” dan sebagiannya lagi hanya bisa dijawab dengan keikhlasan.
Saat ini, mencoba menjalani apa yang sudah ada di depan mata. Sekarang, kami cukup senang ketika berangkat kantor, Kanzie mengantar kami dengan senyum dan ndlomong, tanpa tangis karena sudah ada Otet, Kung dan Mbah Nem. Cukup bagiku aku pulang istirahat atau pulang kantor, Kanzie selalu menyambutku dengan teriakan heboh dan pringisannya yang khas. Lalu ribut minta nenen. Saat ini cukup, entah nanti... Kalau saja tidak ada orangtuaku yang bisa aku titipin Kanzie, kalau saja jarak rumah orangtuaku jauh, kalau saja tidak ada Mbah Nem yang sayang sama Kanzie, kalau saja pekerjaanku nggak memungkinkan aku untuk pulang istirahat untuk nengok Kanzie, kalau saja suami kerjanya jauh, mungkin akan lain ceritanya. Mungkin aku akan memilih untuk di rumah tanpa pikir panjang. Tapi saat ini, sekali lagi saat ini ini keadaan yang paling pas buat kami bertiga. Aku nggak ngomong ini yang terbaik, karena jujur aku juga nggak tahu apa ini yang terbaik buat Kanzie. Yang aku tahu hanya, sampai saat ini dengan segala pertimbangan, kondisi ini yang paling memungkinkan bagi kami. Tidak menutup kemungkinan untuk berubah, apalgi seandainya ada yang ngasih aku sahamnya Togamas dan sekantong logam mulia 
Sekarang, aku juga sedang berdoa dan mencari jalan untuk mewujudkan harapanku. Di rumah bersama Kanzie dan 7 adiknya (bercanda!), sekaligus bekerja dari rumah. Semoga ada keberanian dan jalan untuk menuju ke sana. Jadi.. Sahabat yang baik hatinya, jika engkau patuh pada kebaikan, ingin berkesempatan menghasilkan pekerjaan yang memuliakan sesame, doakan saya untuk segera menggenapkan mimpi dan harapan. Semoga Tuhan membangunkanmu sebagai pribadi yang segar jiwanya dan sehat raganya, yang siap untuk digembirakanNya dengan rezeki yang baik sekali *dikeplak Mario Teguh*

PS: Tulisan ini sebenarnya untuk menelaah dan memantapkan hati sendiri. Hufft kalo kata status di FB 
Btw, patah hati ternyata bukan hanya ketika anak, suami atau orang tua sakit tapi juga waktu Mbah Nem sakit . Cepet sembuh ya Mbah, Kanzie (dan Ibuknya) membutuhkanmu. Semoga selalu diberi kesehatan, digandakan pahalamu Mbah 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar