Aah..senin gini paling enak melontarkan sumpah serapah dan uneg-uneg.
Sejak jadi Ibu, pelajaran penting yang aku dapat (diantaranya selain ternyata belajar sabar dan telaten itu adalah mutlak *matek aku* ) adalah
*GAK KAKEAN COCOT MENGKRITIK URIPE WONG
Yak.
Kenapa? Karena waktu setelah melahirkan Kanzie, salah satu penyebab baby blues waktu itu adalah cocote wong. Serius. Selain karena ASI belum bancar dan ART yang aneh, ada seorang yang selalu mengkritik caraku mengasuh Kanzie. Ada beberapa contoh yang aku inget (yang nggak inget?banyaakk!!hehehe):
• Kanzie punya box bayi dipinjami kakak Naira “halah ngapain pake box gini, aku dulu nggak pernah pakai box wong paling juga 2-3 hari udah nggak dipake”. (saknoe rek Ayahnya Naira yang sampe kringeten masang box)
• Ketika tau Kanzie nggak kupakein gurita “kalo aku se nggak terlalu nuruti apa kata dokter. Dikit-dikit apa kata dokter. Padahal gurita itu baik buat bayi bla..bla”.
• Pas kepala kanzie agak peyang karena waktu tidur kepalanya miring “Iki pasti gara-gara ibuk’e. Kalo nyusuin nggak diganti-ganti posisinya”.
• Kanzie kalo tidurnya nggak sama aku harus digendong “ Waduh, harusnya dilatih jangan digendong, nanti nyusahin, manja..blabla.” (Padahal anaknya yang udah SMP nggak berani tidur sendiri)
• Dan yang paling membekas ketika ASIku belum bancar padahal setiap hari mengkonsumsi segala macam pelancar ASI “ ya ampun masih makan daun katuk tiap hari ASImu belum bancar juga? Oalah Fan..fan” dan “ oh..kalau aku dulu nyusuin sampek tumpah-tumpah, sampe ta’ buang-buang”. JLEB
Dan kritikan itu terus berlanjut sampai Kanzie sekarang sudah mau setaun.
• Misal ketika aku buatin jadwal menu buat Kanzie (ini untuk memudahkan aku belanja, dan nggak perlu mikir tiap hari Kanzie makan apa) “ waduh, gaya dibuatin menu, buku resep tebel, tapi Kanzie nggak mau makan”.
• Ketika tiap hari Kanzie riwa-riwi padahal Bapaknya lagi keluar kota, komentarnya adalah “ kasian, gak ada bapaknya kok tetep dibawa riwa-riwi”.
Dan percakapan di atas bukan rekayasa, tokohnya pun nyata senyata-nyatanya. Kalo sekarang inget itu mungkin lucu ya, kok ya ada orang yang segitu nggak ada kerjaannya yang kayaknya ada yang kurang kalau enggak menjudge hidup orang lain. Tapi pas dulu ketika masih bingung & belajar menyesuaikan dengan perubahan terbesar yaitu punya baby ya nggak terdengar lucu. Malah mentolo nyumpel sama popok’e Kanzie. Dan ternyata ketika cerita sama beberapa sahabat&temen, mereka juga mengalami hal yang sama, salah satu penyebab baby blues adalah cocote wong :D.
Aku sendiri seperti ikut diingatkan ketika membaca artikel Mommy Hanzky di Mommies daily “What we need: women supporting woman” beberapa hari lalu. Berikut kutipannya: “ Sedih, deh, kalau membayangkan betapa judgmental-nya kita. Saya ingat waktu itu pernah heboh di Twitter karena ada seseorang mengirim tweet karena melihat anak yang asyik bermain dengan pengasuhnya di playground. Padahal ibunya ada, sedang duduk di meja makan, dan (katanya) asyik bermain smartphone-nya. Duh, duh. Itu kan hanya beberapa menit atau paling hanya sejam dari perannya orang itu sebagai ibu yang dilihat ya? Dan kita sudah bisa bikin asumsi bahwa dia bukan seorang ibu yang baik. Ada juga yang sampai memotret seorang anak yang sedang disuapi pengasuhnya di restoran sementara si ibu juga ada di situ. Please, we never know the whole story, so who we are to judge?
Jujur, tertohok membaca kalimat itu. Sebelum jadi Ibuknya Kanzie, sebelum merasakan pengalaman luar biasa ini, aku juga paling hobi ngomentarin orang. Ada yang nyeleneh dikit lancar mengeluarkan kritik. Kalo liat bayi dikasih susu botol, diajak ke tempat nggak kondusif buat bayi, disuapin baby sitternya, dll yang menurutku “gak ideal” langsung menjudge. Tapi setelah punya Kanzie jadi sadar, dibalik ketidak idealan itu ada alasan, cerita dan kondisi yang berbeda. Lagian sopo aku kok ngritik uripe wong? Ngasih makan juga enggak. Jadi teringat beberapa bulan ini meski masih gabung grup ASI,MPASI udah nggak pernah ngintip grup itu lagi. Karena banyak contoh seperti yang disebutkan di artikel di atas. Giliran ada tetangga/sodara/temen yang ngasih susu selain ASI, ngasih makanan instant/makanan orang dewasa langsung dishare dan bareng-bareng dihujat, dikiritik sok tau, merasa paling hebring. Hadeeh. Aku ngasih ASI sampai sekarang, dan masih masak buat Kanzie Tapi ya gak segitunya kali.
Makanya, sekarang jadi bertekad mau belajar menahan diri untuk nggak menjudge hidup orang lain. Kalaupun udah gatel, ya dibahas sama suami sendirilah, nggak perlu disampaikan dengan cara nggak enak, apalagi dishare di media. Misal ketika tau ada Ibu yang ninggalin anaknya untuk kerja, nggak nyusuin nggak masak buat anaknya karena sibuk kerja, sebelum mulut yang jago komentar ini mengkritik, aku coba inget kalimat di artikel di atas we never know the whole story, Siapa tau, meski ada Bapaknya, si suami ini nggak bisa menafkahi keluarganya, sehingga Ibunyalah yang harus kerja. Siapa tau meski suaminya berpenghasilan, si Ibu ini harus bekerja keras untuk menghidupi adiknya, orang tuanya. Atau ketika ada Ibu yang memutuskan jadi Ibu rumah tangga karean ingin membesarkan anaknya ya nggak perlulah dijudge nanti anaknya jadi nggak mandiri, pasti nanti ngabisin duit suami, nggak produktif, nggak tahu pergaulan dsb. Siapa tahu memang kondisinya tidak memungkinkan untuk meninggalkan anaknya bekerja. Ya, SIAPA TAHU. Karena sekali lagi we never know the whole story, so who we are to judge?. Jangan-jangan ketika kita dihadapkan pada situasi yang sama persis, kita juga akan bertindak sama persisi dengan orang yang kita sudutkan?
Seperti yang pernah aku tulis di note ketika mendengar komentar orang ketika aku tak kunjung berbadan dua “Belajar tidak menyakiti hati orang adalah suatu bentuk kedewasaan. Dan kualitas diri kita terlihat kok dari kesanggupan kita berempati.”
Terserah kalau ada yang bilang aku terlalu berlebihan menyikapi cocote wong, terlalu sensi dll. Tapi aku percaya, kita tau kok mana yang komentar untuk becanda mana yang sinis&judgemental. Lagian, orang yang merugi kan orang yang sama dengan hari kemarin kan ya. Nah, aku nggak mau setelah jadi Ibu aku tetap jadi orang yang sama, yang berpikiran cetek, nggak sensitif sama perasaan orang dan menyebalkan. Masih jauuuuuuh sih bagi aku untuk menjadi orang yang baik, nggak jutek, berhati mulia. Sadar diri bahwa aku ini berbakat jadi orang jutek dan –ngawur nggak pake mikir kalo lagi guyon ngakak-, jadi harapannya nggak muluk, semoga sebisa mungkin kehadiranku lebih menyenangkan daripada ketiadaanku. Jangan sampe kehadiranku aja udah membuat orang lain deg-deg, sebel, sakit hati, sedih hanya karena apa yang terlontar dari mulutku. Semoga tidak. Jadi, Try to be a better person, why not?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar