Almarhum kakek saya adalah seorang Kyai. Istrinya,
Almarhumah Nenek saya sampai akhir usianya tidak berjilbab. Hanya memakai
kebaya, kerudung dan sewek. Almarhum Kakek saya satunya adalah ta’mir masjid Jami’
dan ketua yayasan perjalanan Haji Indonesia waktu jaman itu. Istrinya, Almarhumah
Nenek saya, juga sama, sampai akhir usianya 86 tahun tidak berjilbab dan hanya
memakai kebaya, sewek dan kerudung.
Tapi Abah (saya memanggilnya), “memaksa”
mengajari cucunya (kakak saya) mengaji sampai khatam. Ribut kalo kita belum
sholat (saya sekeluarga tinggal disana sampai saya SD). Apalagi ramadhan, pasti
memaksa kita ikut tarawih. Dan sejauh saya tau, ketika di rumah, beliau kalo
tidak membaca ya mengaji. Bacaannya jelas bukan Conan lah ya, tapi bacaan berat
yang waktu itu baca judulnya udah nangis kali saya. Abah, tidak pernah menolak
tamu bahkan meski tamu itu datang seminggu 3x dan hanya minta sangu/sumbangan. Kedua
kakek saya orang NU. Tapi ketika itu, saya dan kakak saya sekolah di SD
Muhammadiyah. Apa jadi masalah? Enggak tuh.
Emak
(panggilan saya ke nenek), ketika saya sudah tidak tinggal bersama beliau, tiap
kali ke situ yang ditanya selalu “awakmu wis juz piro fan?” Selalu ngecek sudah
sampai mana ngaji saya. Wis solat? Wis sampe endi ngajimu? Itu yang selalu
ditanyakan. Mbah putri (panggilan saya ke nenek satunya), meski tidak
berjilbab, hidupnya selalu dibuat untuk silahturahmi, menjenguk orang sakit,
dan mengaji. Sampai usianya 86 tahun, beliau khatam tiap 6 hari sekali, dan
masih puasa. Dan sama, yang ditanyakan ketika bertemu saya adalah wis solat? Saya
malah ingat, dulu kecil saya pernah “dilungguhno”, dimarahi karena nggak solat
dhuhur malah asyik baca buku. Padahal waktu itu saya masih kelas 2 SD.
Guru
agama saya waktu SD juga tidak berjilbab waktu itu. Tapi beliaulah yang
mengajarkan saya berjamaah yang benar, menceritakan kisah Nabi yang membuat
saya terkagum-kagum dengan keteguhan Nabi Ibrahim, ngefans berat dengan
Rosullulah SAW. Yang membuat saya (waktu itu) rajin ngaji, dan bisa sedikit
bahasa arab. Yang mengajarkan tentang akidah akhlak, tentang puasa dan tarawih.
Di tulisan ini, Saya bukan mau membahas
tentang jilbab. Bukan. Saya tau bahwa jilbab itu wajib. Noted. Jelas ayatnya. Dan
saya tau kalau dalam hal ini bisa dikatakan saya belum berjilbab. Karena ya
saya masih pakai jeans, pakai celana, kerudung juga masih nggak bener. Jadi hanya
bisa disebut berkerudung kali ya. Dan bukan, saya bukan juga mau membahas
tentang syiah, ahmadiyah, NU, Muhammadiyah dll. Dan saya nulis ini juga bukan
membela Qurasih Shihab atau ulama tertentu. Ini bukan tentang perseorangan kok.
Ini tentang bagaimana kita sebagai manusia
yang belum tentu benar, berani menilai orang lain. Betapa kita mudahnya menilai
keimanan, keislaman, dan ibadah orang lain. Betapa mudahnya bagi kita menuding
orang lain sesat, dangkal, kafir, riya’, nggak ikhlas dsb. Saya cuma ngeri,
betapa mudah kita dapat berita sedikit, langsung kita sebarkan. Padahal belum
tentu benar.
Sedangkan pastikah amal perbuatan kita
diterima? Pastikah segala ibadah kita diterima? Pastikah kita sampai ke tujuan akhir
yaitu masuk surga?
Dan berbeda ya, berdakwah dengan menuding. Berdakwah
dengan menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya. Sangat berbeda.
Balik ke judul di atas, sudah benarkah saya? Jawabannya
nggak tau ya, wallahu a'lam. Tergantung menilainya. Mungkin tidak, ngeliat cucu
kyai kok masih kerudungnya gini ? kok ngajinya jarang, kok suka sama Emha
Ainiun Nadjib, kok kapan hari niat mau minjam buku Quraish Shihab di Ibuk saya,
kok ulama favoritnya masih Ustad Yusuf Mansyur yang heboh gara-gara investasi, kok
paling suka dengerin ceramahnya Aa Gym? Yang jelas, yang saya tau, saya berkewajiban
belajar terus tiap hari. Belajar lebih rajin mengaji, solat tepat waktu, mengajarkan
sekaligus mencontohkan anak-anak saya untuk kenal solat, mengaji, puasa, zakat,
akhlak yang sesuai dengan Islam, berusaha dan berdoa agar bisa naik haji dengan
suami dan anak-anak, belajar untuk menjalin silahturahmi, belajar bagaimana
Habluminallah dan habluminannas yang baik dan seimbang. Belajar untuk memunculkan
keinginan bersedekah sama hebatnya dengan keinginan berbelanja. Belajar untuk
berpuasa tidak hanya tidak makan dan minum, tapi juga tidak ngomongin orang,
tidak marah, dll. Semua itu saja sudah cukup sulit buat saya. Makanya saya sebut
belajar.
Ibaratnya, kalopun saya sudah melaksanakan ibadah
dengan baik dan benar belum tentu kan itu diterima. Diterima/nggaknya ibadah
kan hak proregatif Alloh SWT. Mosok saya mau menuntut, “tapi kan saya sudah
solat 5 waktu tanggal segini? kok yang diterima cuma subuh aja?” Lha bisa jadi
kan dhuhur-Isya ketika solat yang saya pikirkan malah makanan, anak rewel, atau
keburu ngantuk. Atau misal, saya sudah amal, mengaji, ikut istighozah dsb tapi
kok nggak diterima? Padahal sudah ikhlas, dan nggak riya’. Siapa tau, di
perjalanan saya berangkat ngaji, saya mencela orang. Atau amal saya nggak
diterima, karena saya habis mefitnah orang. Iya, nggak ada yang tau kan.
Ah sudahlah, saya pusing membahas ini. Ini cuma keluhan emak-emak
yang ngeri ketika dihadapkan pada dunia yang penuh dengan penilaian, saling
menilai, menuding, menuduh, tanpa menyadari bahwa hubungan dengan sesama manusia
(tanpa melihat Agama, ras, bangsa) juga penting.
Btw, tentang riya’, jaman itu saya pernah
nulis ini. Dimata manusia mungkin pamer, riya’ dsb. Di mata Alloh SWT, tidak
ada yang tau.
PS: udah ye, paling cocok siang-siang ini mikirin
es moka Dempo. Atau Es tawon. Atau es teler sukarno Hatta yang pake susu soklat.
Atau Es blewah. Atau.. *kemudian ditendang*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar