Saya ini
termasuk golongan ibu-ibu yang rempong, yang mikirnya kejauhan, parno, lebay,
dan suka sutris sendiri. Saya akui itu. Saya nggak bangga sih, dan nggak bagus
juga jadi Ibu yang kayak gitu. Untungnya, saya punya suami yang sangat bertolak
belakang sama saya. Suami yang memang dari sononya woles, tenang. Jadi ketika
istri panik membabi buta, si suami yang bertugas menenangkan dan megembalikan
ke “jalur” yang benar. Meski nggak semua hal tentang kerempongan ini buruk ya.
Ada baiknya, karena segala hal akhirnya saya pikirkan matang-matang, resiko
baik buruknya.
Misalnya contoh
kecil, tentang mencari sekolah, saya rempong sendiri. Suami lebih memakai
kepala dingin. Tujuan apa, pinginnya kayak gimana, budget berapa, udah. Nah saya
meski udah tau tujuan kami sekolah yang kayak gimana, berasa nggak lengkap
tanpa survey ke beberapa sekolah, nanya sana sini. Dan itu udah saya lakuin
mulai Kanzie playgrup. Huahahaha… yah, mungkin ada ya orang yang lebih hepi
dengan kerepotan macam gini. Ya contohnya saya ini, berasa hepi dan lega kalo
udah survey sana sini.
Apalagi
menyangkut situasi jaman sekarang. Yang kekerasan anak, penculikan, LGBT,
pornografi, serbuan teknologi dll. Bohong kalau kita nggak parno. Apalagi saya,
yang suka terlalu jauh dan lebay mikirnya. Selalu ada rasa kuatir, karena kondisi
kami berdua bekerja. Di rumah mereka diasuh oleh duo Emak yang meski saya nggak
meragukan kasih sayangnya, tapi apakah cukup. Apakah dengan kondisi ini mereka
bisa jadi anak yang baik, aman dan bahagia. Itu yang selalu ada di benak saya.
Tapi dibalik keparnoan
itu, saya meyakini satu hal. Membesarkan anak, memang kewajiban kita. Mengusahakan
yang terbaik buat anak memang tugas kita sebagai orang tua. Tapi kembali lagi,
di balik usaha kita, doa kita, harapan kita sebagai orang tua, ada kuasa Tuhan.
Anak, segimanapun kita sayangnya, adalah titipanNya. Nggak menjamin bahwa
ketika kita sudah memberikan yang terbaik untuk anak, terus anak kita akan jadi
sesuai harapan. Berusaha dan berdoa pasti, tapi ya itu tadi, ada kuasa Tuhan di
atas segalanya.
Secara teori, anak harus dibesarkan dengan
kasih sayang dari kedua orang tua. Ekonomi tercukupi. Keluarga harmonis dan
ideal. Paradigma keluarga ideal di masyarakat, adalah ayah ibu dan anak. Dengan
rumah, kendaraan, sehat sempurna secara fisik. Ayah mencari nafkah, ibu
mengasuh anak di rumah. Secara ekonomi baik, sehingga bisa bersekolah di
sekolah yang bagus. Pendidikan agama baik, bahkan bisa memanggil guru ngaji,
dan selalu berjamaah di rumah. Tapi apakah gambaran keluarga ideal itu menjamin
anak jadi anak yang sukses, baik? Jawabannya belum tentu.
Begitupun dengan
keluarga yang “tidak ideal”. Misalkan dibesarkan hanya oleh single parent. Atau
dibesarkan di keluarga yang selalu berselisih pendapat. Atau dibesarkan oleh
keluarga yang tidak berkecukupan secara ekonomi, ayah tidak ada, ibu yang bekerja,
pendidikan apa adanya. Jangankan memilih sekolah favorit, bisa sekolah saja
sudah bagus. Atau dibesarkan oleh orang tua yang keduanya bekerja di luar pulau,
anak diasuh oleh saudara. Banyaklah situasi keluarga yang “tidak ideal” menurut
kita, mata manusia. Apa akhirnya anak-anak yang tumbuh dalam kondisi tidak
ideal itu jadi anak yang tidak baik, tidak berhasil? Jawabnya sama, belum
tentu.
Sudah banyak
contoh di sekitar saya, bahwa ada beberapa orang yang dibesarkan tidak dalam
situasi ideal tumbuh menjadi pribadi yang baik, sukses. Karena dibalik itu, ada
kuasa Tuhan, ada doa-doa orang tua di malam-malam sujudnya, ada doa orang yang
peduli. Ada tangan Tuhan yang berperan.
Mungkin ini yang
perlu saya pelajari. Bahwa menjadi orang tua selain tentu harus bertanggung
jawab terhadap mereka. Berusaha keras memberikan yang terbaik untuk mereka,
selain itu saya, kami, harus menikmati peran ini. Menikmati setiap prosesnya. Tidak
perlu terlalu memikirkan hal yang di luar jangkauan kami. Karena Gusti Allah
mboten sare. InsyaAllah mereka akan dijaga olehNya. Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar