16.2.16

Dibalik kerempongan dan keyakinan



Saya ini termasuk golongan ibu-ibu yang rempong, yang mikirnya kejauhan, parno, lebay, dan suka sutris sendiri. Saya akui itu. Saya nggak bangga sih, dan nggak bagus juga jadi Ibu yang kayak gitu. Untungnya, saya punya suami yang sangat bertolak belakang sama saya. Suami yang memang dari sononya woles, tenang. Jadi ketika istri panik membabi buta, si suami yang bertugas menenangkan dan megembalikan ke “jalur” yang benar. Meski nggak semua hal tentang kerempongan ini buruk ya. Ada baiknya, karena segala hal akhirnya saya pikirkan matang-matang, resiko baik buruknya.
Misalnya contoh kecil, tentang mencari sekolah, saya rempong sendiri. Suami lebih memakai kepala dingin. Tujuan apa, pinginnya kayak gimana, budget berapa, udah. Nah saya meski udah tau tujuan kami sekolah yang kayak gimana, berasa nggak lengkap tanpa survey ke beberapa sekolah, nanya sana sini. Dan itu udah saya lakuin mulai Kanzie playgrup. Huahahaha… yah, mungkin ada ya orang yang lebih hepi dengan kerepotan macam gini. Ya contohnya saya ini, berasa hepi dan lega kalo udah survey sana sini.
Apalagi menyangkut situasi jaman sekarang. Yang kekerasan anak, penculikan, LGBT, pornografi, serbuan teknologi dll. Bohong kalau kita nggak parno. Apalagi saya, yang suka terlalu jauh dan lebay mikirnya. Selalu ada rasa kuatir, karena kondisi kami berdua bekerja. Di rumah mereka diasuh oleh duo Emak yang meski saya nggak meragukan kasih sayangnya, tapi apakah cukup. Apakah dengan kondisi ini mereka bisa jadi anak yang baik, aman dan bahagia. Itu yang selalu ada di benak saya.
Tapi dibalik keparnoan itu, saya meyakini satu hal. Membesarkan anak, memang kewajiban kita. Mengusahakan yang terbaik buat anak memang tugas kita sebagai orang tua. Tapi kembali lagi, di balik usaha kita, doa kita, harapan kita sebagai orang tua, ada kuasa Tuhan. Anak, segimanapun kita sayangnya, adalah titipanNya. Nggak menjamin bahwa ketika kita sudah memberikan yang terbaik untuk anak, terus anak kita akan jadi sesuai harapan. Berusaha dan berdoa pasti, tapi ya itu tadi, ada kuasa Tuhan di atas segalanya.

 Secara teori, anak harus dibesarkan dengan kasih sayang dari kedua orang tua. Ekonomi tercukupi. Keluarga harmonis dan ideal. Paradigma keluarga ideal di masyarakat, adalah ayah ibu dan anak. Dengan rumah, kendaraan, sehat sempurna secara fisik. Ayah mencari nafkah, ibu mengasuh anak di rumah. Secara ekonomi baik, sehingga bisa bersekolah di sekolah yang bagus. Pendidikan agama baik, bahkan bisa memanggil guru ngaji, dan selalu berjamaah di rumah. Tapi apakah gambaran keluarga ideal itu menjamin anak jadi anak yang sukses, baik? Jawabannya belum tentu.
Begitupun dengan keluarga yang “tidak ideal”. Misalkan dibesarkan hanya oleh single parent. Atau dibesarkan di keluarga yang selalu berselisih pendapat. Atau dibesarkan oleh keluarga yang tidak berkecukupan secara ekonomi, ayah tidak ada, ibu yang bekerja, pendidikan apa adanya. Jangankan memilih sekolah favorit, bisa sekolah saja sudah bagus. Atau dibesarkan oleh orang tua yang keduanya bekerja di luar pulau, anak diasuh oleh saudara. Banyaklah situasi keluarga yang “tidak ideal” menurut kita, mata manusia. Apa akhirnya anak-anak yang tumbuh dalam kondisi tidak ideal itu jadi anak yang tidak baik, tidak berhasil? Jawabnya sama, belum tentu.
Sudah banyak contoh di sekitar saya, bahwa ada beberapa orang yang dibesarkan tidak dalam situasi ideal tumbuh menjadi pribadi yang baik, sukses. Karena dibalik itu, ada kuasa Tuhan, ada doa-doa orang tua di malam-malam sujudnya, ada doa orang yang peduli. Ada tangan Tuhan yang berperan.
Mungkin ini yang perlu saya pelajari. Bahwa menjadi orang tua selain tentu harus bertanggung jawab terhadap mereka. Berusaha keras memberikan yang terbaik untuk mereka, selain itu saya, kami, harus menikmati peran ini. Menikmati setiap prosesnya. Tidak perlu terlalu memikirkan hal yang di luar jangkauan kami. Karena Gusti Allah mboten sare. InsyaAllah mereka akan dijaga olehNya. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar