18.10.11

Nilaiku tak pernah A


Tulisan ini tidak bermaksud menyinggung siapapun, murni curhat panjang yang sifatnya menye-menye. Kalo ada yang lagi males baca yang menye-menye, mending batalkan aja untuk scroll ke bawah ^_^

Enam bulan ini adalah enam bulan paling luar biasa bagiku. Enam bulan belajar sabar, belajar menghadapi another damn comment, belajar berkompromi, belajar sabar (padahal sabar itu jatahnya suami) dan berjuang. Menjadi Ibu dari seorang bayi mungil itu tidak hanya sangat membahagiakan tapi juga membuat sutris. Iya, sutris. Aku pikir punya anak itu cuma 1 kata bahagia, titik. Tapi ternyata dibalik itu juga ada air mata (sok sinetron biar dibilang kayak Asmirandah). 
Dimulai dari hari pertama Kanzie hadir ASIku belum juga keluar. Tiap kali dia menyusu hanya bertahan kira-kira 1 jam. Setelah itu nangis keras. Setiap kali di nangis, aku pun ikut nangis. Rasa bersalahlah yang berperan besar, merasa bersalah karena ASIku nggak keluar. Mencoba bertahan sampai 2 hari karena baca di beberapa referensi, sampai 2 hari bayi tetep bisa bertahan tanpa cairan. Itu teorinya. Prakteknya? Aku dan suami panik. Aku pun mikir haruskah lagi-lagi dengan egoisku bayiku kelaparan? Kebetulan RSIA yang kami pilih ini sangat pro ASI. Suster-susternya malah bilang nggak papa, nunggu aja, mungkin besok ASInya udah keluar. Tapi, ternyata keadaan berkata lain. Kanzie agak kuning, meski nilai bilirubinnya pas 10 jadi nggak perlu disinar. Kata DSA, salah satu penyebab ya kurang minum karena gol. darahku dan dia ternyata sama (salah satu penyebab bayi kuning adalah ketidak samaan gol darah bayi dan ibu). Yak, kurang minum. Padahal dia nyusu aku berjam-jam. Akhirnya nggak sampai 48 jam, tepatnya 36 jam aku dan suami memutuskan Kanzie harus minum sufor, sementara ASIku belum keluar. Ketika harus menandatangani form persetujuan pemberian sufor, jangan ditanya gimana perasaanku. Padahal cuma form kayak gitu, tapi bisa mengobrak-ngabrik perasaan. Merasa jadi Ibu yang bodoh, nggak baik, nggak sempurna, nggak bisa ngasih yang terbaik buat anaknya. Waktu dikasih tau suster, kalo Kanzie begitu disendokin sufor langsung habis 60 ml, antara lega dia akhirnya minum dan sedih. Sampai di rumah ASIku tetep sedikit. Dipompa paling cuma 5 ml. Segala macam cara aku lakukan. Ibukku jadi konselor laktasi sejati buatku. Setiap pagi Ibuk datang ke rumah, dengan membawa air rebusan kacang ijo, sayur daun katuk, membelikan susu kedelai yang mihil dan rasanya kayak tepung itu, sari kurma, jamu gejah, kripik jagung (marning). Ditambah dua suplemen pelancar dari dokterku. Semua aku telan. Hasilnya? Sama aja. Di situ aku harus meruntuhkan keegoisanku. Masa iya hanya karena aku pengen dia ASI ekslusif aku harus mengorbankan anakku. Dengan nggak ikhlas, aku ngasih sufor. Antara seneng dan sedih ketika ngeliat Kanzie munum begitu lahap. Akhirnya Kanzie separuh ASI, separuh sufor. Ritualnya, Kanzie bangun-nenen PD kiri dan kanan 1-2 jam-nangis keras karena masih haus-Bapaknya buatin susu-nyendokin di tengah malam-Kanzie kenyang,tidur-suami nyiapin pompa-aku nyoba mompa yang hasilnya cuma bisa basahin bibir Kanzie. Selalu tiap hari sampai berminggu-minggu begitu. Dan selama berminggu-minggu itu pula aku sutris, merasa bersalah dsb. Ditambah lagi kalau ada pertanyaan kok nggak ASI? Padahal ASI itu baik dll. Aargh..aku tau! Justru karena aku tau itu, jadi makin sutris. Beragam artikel, aku baca nggak ada artikel yang memuat gimana cara mengatasi rasa bersalah ini. Artikelnya paling cuma gimana biar ASI lancar. Itu aja. Curhat ke suami pun tetep belum lega. Meski dari awal suami juga selalu bilang bahwa insyaAlloh makin lama ASInya lancar, ngasih semangat dan membesarkan hatiku di waktu aku nangis karena merasa jadi Ibu yang gagal. Tapi tetep, rasa bersalah ini nggak pergi-pergi. Sampai akhirnya berhasil ketemu dengan konselor laktasi di RSIAku. Kenapa kukatakan berhasil, karena suster ini kucari mulai aku habis melahirkan tapi nggak pernah sama jadwalnya. Janjian sampai akhirnya baru ketemu waktu Kanzie udah 1 bulan. Satu jam mengajukan rentetan pertanyaan didampingi suami dan dengan nenenin Kanzie. Ada satu pernyataan beliau yang melegakanku, ketika aku nanya “mungkin nggak sus, makin lama frekuensi sufor makin berkurang dan ASI saya makin lancar?. Beliau bilang “nggak papa, separuh sufor. Yang penting mama jangan putus asa, terus susuin aja adek, karena mulut bayi adalah pelancar utama ASI. Nanti lama kelamaan pasti bisa kok, berkurang frekuensi sufor”. Makasih suster Erna, yang sampai saat ini pun masih sering kutanya-tanyain. Anda adalah konselor laktasi yang nggak pernah sekalipun menjudge orang kayak saya yang bukan karena kemauan nggak bisa ngasih full ASI. Setelah ketemu dengan suster Erna, masih belum sepenuhnya lega. Akhirnya, pada suatu titik, aku cerita ke seorang sahabat. Dia bilang “kondisi tiap ibuk dan bayi beda. Don’t give a damn what people say”. Jleb!! Well, oke. Mungkin ini saatnya aku harus berkompromi dengan keadaan. Gak fokus pada kegagalan, tapi berusaha bahagia dengan bayiku. Gak hanya terpaku pada rasa bersalah tapi berusaha menerimanya. Sempat nanya ke sepupu plus sedikit curhat dan kalimatnya membuatku sadar: “apa yang kita beri ke anak asal niat kita baik, ikhlas Insya Alloh hasilnya baik. Makasih ya Rini dan Mbak Junda J
Setelah itu, mencoba mencerahkan pikiran dengan ngobrol dengan suami. Akhirnya aku sadar pertama aku harus menerima keadaan. Menerima kalau ASI ku sedikit. Setelah itu harus ikhlas. Ikhlas memberikan sufor. Bukan karena harganya tapi nggak ikhlasnya karena tau bahwa kandungan sufor jauh di bawah ASI. Tapi, toh yang kubeli juga bukan racun. Beli juga pake uang halal jerih payah kami berdua. Niatku juga baik, biar anakku nggak kelaparan. Dan gak tau gimana, setelah aku ikhlas, legowo dan belajar untuk berkompromi dengan keadaan yang diluar kehendak kami ini, sepertinya itu jadi titik balik. Sejak itu perlahan-lahan ASIku mulai lancar. Yang biasanya frekuensi 50-50 dengan sufor, perlahan berkurang 80-20. Di minggu terakhir masa cuti (Kanzie usia 2 bulan) sama sekali nggak pake sufor. Meski Kanzie bisa dibilang pagi-malam nenen terus. Akhirnya juga bisa nabung ASIP di freezer sampai 25 botol. Hal yang aku kira nggak mungkin kulakukan mengingat pompaanku waktu itu cuma 10 ml. Waktu pertama aku kerja, Kanzie masih 1 botol sufor. Mulai usia 3 bulan malah sudah full ASI. Bener-bener diluar dugaan.
Saat ini, aku Ibu yang lebih berbahagia. Lebih legowo ketika ada hal yang tidak sesuai dengan keinginanku. Terlepas dari Kanzie ASI/nggak, karena aku yakin aku sudah berusaha memberi yang terbaik untuk dia. Sampai sekarang, setiap berangkat kantor aku membawa printilan berupa cooler bag, pompa (terima kasih buat sahabat-sahabatku yang sudah ngasih kado yang sangat berguna ini) dan botol-botol, memerah tiap 2 jam di waktu kerja. Setiap waktu sitirahat jam 12 siang, pulang untuk nyusuin. Dan sampai sekarang, nggak berhenti berdoa, semoga Alloh SWT tetep melancarkan ASIku sampai Kanzie dua tahun. Apa yang kualami mungkin nggak ada apa-apanya, tapi aku bersyukur sempat mengalami hal itu karena kalo nggak, mungkin aku nggak tau bahwa nggak hanya melahirkan aja yang butuh perjuangan tapi menyusui, bahkan menjadi orang tua itu sendiri juga butuh perjuangan. Aku akhirnya jadi tau bahwa menjadi Ibu intinya adalah belajar, berjuang dan berkompromi. Belajar tentang segala sesuatu mengenai anakku. Nggak hanya bermodal “kata orang”, tapi mencari tau sendiri. Berjuang untuk memberi yang terbaik buat anak, terbaik menurut kita orang tuanya. Berkompromi ketika semua hal tidak berjalan seperti yang kita harapkan.
Aku ini masih newbie dalam dunia perorangtua-an, masih ibu “kemarin sore”, masih mbok-mbok anyaran, masih terus belajar dan belajar sambil tertatih-tatih bahkan mbrangkang. Seorang Ibu yang baru aja punya anak pertama yang masih bayek, dan sama sekali belum berpengalaman, masih suka panik dan nanya sana-sini. Tapi satu aku yakini sekarang, nggak ada Ibu waras yang nggak mau memberikan yang terbaik buat anaknya. Mau Ibu itu nggak melakukan apa yang “menurut kita” bukan yang terbaik. Jadi sejak menjadi seorang Ibu aku berhenti menilai apakah seorang itu Ibu/Ayah yang baik/tidak. Who are ME  to judge? Aku nggak pernah berada di posisi dia.
Karena aku ibu yang bisa ngasih ASI apakah aku ibu yang lebih baik dari yang lain?
Karena aku ibu yang membuat sendiri makanan untuk anaknya apakah aku ibu yang lebih baik dari yang lain?
Karena aku ibu yang bekerja atas pilihanku sendiri, apakah aku ibu yang lebih buruk dari yang lain?
Karena aku ibu yang sempat memberikan sufor, menyerah, apakah aku ibu yang lebih buruk dari yang lain?
Jawabannya adalah Tidak! Yang paling berhak menilai aku ibu yang baik atau buruk hanyalah anakku. Mungkin tidak sekarang, karena dia belum mengerti. Mungkin tidak di waktu remaja ketika egonya lebih banyak berbicara. Tapi suatu saat nanti ketika dia sudah dewasa, dia akan tau bahwa Ibuk Bapaknyanya selalu berusaha menjadi orangtua yang baik untuknya. Pasti tidak sempurna, tapi selalu mengusahakan yang terbaik

Seperti mengutip brave kiz choice: parenting is not a competition, parenting is not an ego trip. Parenting is abaut making sure your children are happy. Yup! Totally agree. Menjadi orangtua bukan tentang anak siapa yang paling cepet berjalan, bicara, bukan tentang siapa yang bisa memberikan ASI untuk anaknya, bukan tentang memenuhi keingananku/suami, bukan tentang siapa yang paling jago membuatkan makanan sendiri untuk anaknya, bukan tentang anak siapa yang paling sehat, pinter, gemuk (another silly question: BB anakmu berapa? hehehe) dll. Tapi yang penting adalah membuat anaknya sehat bahagia dan ikhlas menjalani peran yang penuh tanggung jawab ini.
Semoga Alloh SWT memberikan kami sekeluarga kesehatan dan umur panjang serta meridhoi aku dan suami bisa menjaga dan menemani Kanzie sampai dia dewasa dan memiliki kehidupannya sendiri bahkan sampai anaknya Kanzie dewasa. Amiin..
.
PS: Aku adalah anak dari seorang Ibu yang bekerja, diberi ASI meski hanya 4 bulan, selalu dibuatkan makanan homemade dan sampai sekarang aku berpendapat bahwa Ibukku adalah Ibuk yang terbaik, selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya meski mungkin kebahagiaannya yang dikorbankan.


2 komentar:

  1. q terharu sekali membaca curhat mbak,,karena saya juga mengalami hal yang sama seperti mbak,,stres,,baby baru umur 1 bulan,,tspi mudah2n q jg bisa seperti mbak y,,bisa kasih asi total nantinya,,doakan y mbak,,tenkyu banget atas curhat mbak ini,,q jdi lbh mengatasi masalah ini,,
    (nani,28 th)

    BalasHapus
  2. pasti bisa. yang penting yakin, dan jangan stres. didoain semoga ASInya lancar ya, kalaopun enggak yang penting babynya sehat selalu ^^

    BalasHapus