3.10.12

Diferente



Bisa dibilang kalo saya dan suami itu adalah dua kepribadian yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Persamaan di antara kami ya cuma sama-sama menggilai seonggok makhluk kecil bernama Kanzie Kanigara dan dada crispy KFC. Selebihnya? Jauuhh..
Ini saya (kami) sadari sejak pacaran dulu, dan semakin lama semakin terlihat perbedaannya. Pertama soal hobi dan selera. Saya tidak bisa hidup tanpa buku, sedangkan suami saya justru alergi buku. Suami saya suka sekali ke toko elektronik, komputer dan sejenisnya. Saya, bisa mati kebosanan kalau di sana. Saya suka sekali nonton film dengan genre drama romantis, drama komedi. Semakin banyak adegan nangis, semakin banyak drama, semakin saya suka. Sedangkan suami nggak hobi nonton, dan kalaupun iya, filmnya pun  film komedi (murni komedi, tanpa drama) dan action. Dia nggak habis pikir kenapa ada orang (baca: istrinya) nonton yang jelas-jelas CUMA film tapi tetep nangis. Sama halnya dengan saya yang nggak habis pikir kenapa ada orang mau repot-repot liat pan*a* orang yang lagi balap motor, padahal yang keliatan cuma sekelebatan motor lewat. Teman-teman kami pun kebanyakan berbeda. Ya gimana enggak, kami nggak pernah yang namanya satu sekolah atau satu tempat kerja. Selera musik jelas berbeda, begitu pun soal makanan dan seribu hal lainnya.
Itu masih soal selera dan hobi. Belum soal sifat. Beuh, jangan ditanya. Jauh berbeda kayak dua kutub magnet. Saya itu orangnya emosional dan ekspresif. Jadi kalau nggak suka, atau lagi bete bakal langsung terlihat. Begitupun kalau sedang hepi, mudah mengekpresikannya. Sedangkan suami adalah penganut aliran lempeng.com. Sebete apapun, semarah apapun, seseneng apapun, ya jarang banget terlihat nyata di ekspresinya. Contoh mudahnya, ketika suami membawakan coklat saya bisa melonjak kesenangan, mencium bertubi-tubi dan memuji suami yang paling baik sedunia. Sebaliknya kalau suami melupakan tanggal anniversary, saya bisa ngambek, dan ujung-ujungnya nanya “kamu udah nggak cinta ya?”. Kalau suami, saya belikan coklat ya langsung aja dimakan tanpa ba bi bu dan kalaupun saya melupakan anniversary seperti tahun kemarin dia cuma akan bilang nggak papa, padahal dia sudah beli tart untuk merayakannya.
Selain itu, saya pemarah, pemikir dan supel. Sedangkan suami saya bertolak belakang dari ketiga sifat itu. Nah, perbedaan itulah yang bikin ribet. Misalnya, karena saya sensitif dan pemikir, saya lebih perduli terhadap hal kecil yang dia nggak dipikirkan tapi cukup berdampak. Sedangkan suami kalau ditanya juga bakal bilang “oh, aku enggak mikir sampai segitunya”.  Ada enak nggak enaknya sih ini. Nggak enaknya ketika ada hal yang menyentuh radar kesensitifan saya, suami nggak sadar kalo itu bisa buat saya marah atau sedih. Jadinya, ketika saya ngambek (heran, setua ini kok masih hobi ngambek ya?), suami bingung lha ini ngambek opo’o, wong nggak ada apa-apa (pikir dia). Enaknya, ketika ada hal yang (seharusnya) menyinggung suami, dia nggak sadar, karena ya karena nggak sensitif itu tadi. Sebenarnya masih banyak sifat, karakter, kebiasaan, kesukaan kami yang bertolak belakang, tapi ya nggak mungkin saya tulis satu persatu. Perbedaan kami yang sangat besar itu mungkin disebabkan karena saya dan suami juga dibesarkan oleh orang tua yang karakternya sangat jauh berbeda, sehingga cara mendidiknya pun jauh berbeda. Nggak pelu dijelasin lah bedanya kayak apa, tapi semakin lama kami semakin sadar yang membentuk karakter kami ini ya sedikit banyak orang tua kami. Orang tua kami berbeda karakter, ya pasti hasilnya bisa beda jaauh seperti kami berdua.
Solusinya apa? Ya kompromi, apa lagi? Misal, kalo suami suka ke toko komputer dan saya suka ke toko buku, ya solusinya habis dari toko buku, kita ke toko komputer. Biar bisa tetep sama-sama. Mosok ya gara-gara nggak suka jadinya pergi sendiri-sendiri, kan lucu. Di toko buku dia yang bagian jaga kanzie, begitupun kalo lagi di toko komputer. Atau suami nggak suka nonton film. Ya saya nonton di dvd, pas dia lagi tidur atau lagi ngebengkel. Atau misal saya pengen nonton TestPack, film yang jelas-jelas drama dan jelas-jelas dia nggak suka. Dan saya pengennya nonton sama suami, bukan yang lain. Ya minta temenin suami dengan jalan beliin cemilan kesukaan dia. Kayak dulu jaman awal nikah, suami masih suka maen PS di rumah sama temen-temennya. Ya istrinya ini disogok camilan seabrek dan buku novel baru.
Kalau kompromi soal selera, hobi sih  gampang ya. Yang sulit justru kompromi soal  sifat masing-masing. Seharusnya sih seperti di film-film itu ya. Justru berbeda itu saling melengkapi. Complete each other istilah kerennya. Tapi justru proses melengkapi itulah yang susah, karena di situ butuh kompromi, menekan ego, dan pengertian. Kompromi itu kuncinya emang. Tapi ya Masya Alloh angele luarrr biasa. Tapi semakin ke sini kami makin sadar bahwa maksudnya kami berdua ini dipasangkan ya mungkin karena ini. Mungkin aja, biar kami bisa memperbaiki diri kami masing-masing jadi yang lebih baik. Suami biar belajar lebih sensitif, perduli dan peka. Begitupun saya dituntut untuk nggak sesensitif itu, bisa sabar, dan kadang ada hal-hal yang nggak perlu saya pikirin.
Dan juga biar membesarkan Kanzie jadi seimbang kali ya. Contoh gampangnya karena sabar, ya suami memang paling pas nemenin Kanzie kalo lagi rewel atau ngajarin Kanzie naik sepeda. Dan karena ekspresif, sayalah yang kebagian mendongeng untuk Kanzie atau joget-joget nggilani ngikutin lagu. Tapi untuk parenting apa yang akan kami jalankan buat Kanzie sih saat ini lebih banyak sepakatnya. Fiuh, Alhamdulilah. Kalo nggak bisa sering pring pecah kayaknya J.
Dan juga, karena beda itulah suami jadi tau bahwa Edward Cullen itu bukan hanya sekedar vampir wedakan mbeluk, tapi juga pria yang romantis *kode Bi,kode..*, dan saya juga jadi tau bahwa kalau suami lagi ngomongin Bautista itu berarti Alvaro Bautista, bukan Christian Bautista yang sudah nggak terkenal itu.
Semoga saja, jodoh kami panjaaaang, selamanya, sehingga kami tetap akan terus berkompromi. Amiinn

PS: Selamat ulang tahun perkawinan yg ke 3 Bi ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar